Berikut ini adalah tautan untuk mengunduh materi presentasi Victoria Alondra yang bertajuk "Zapatista Way" pada diskusi "Bicara tentang Zapatista: Pendidikan, Hak Atas Tanah, dan Swaorganisasi" di AOA Space, Rabu, 24 April 2019.
Kami tengah mencoba mengumpulkan rekaman video/audio yang kami dapatkan selama diskusi tersebut, notulensi dalam bentuk audio/video/tranksrip akan kami unggah dalam beberapa waktu ke depan. Terima kasih!
0 Comments
Selamat siang sebelumnya. Saya A.G., baru saja saya membaca artikel di website-nya AOA dengan judul Swakelola Pekerja: Definisi Dan Pengantar Sangat Singkat. Dan saya tertarik untuk belajar & mendalami swakelola pekerja seperti yang sudah diterapkan di AOA ini. Sedikit banyak soal swakelola pekerja bisa dibilang saya sedikit tahu. Tapi saya masih bingung, bagaimana cara memulainya, perihal modal pertama usaha dan sebagainya. Jadi, mungkin teman-teman di AOA bisa sedikit berbagi pengalaman dengan saya? Terimakasih sebelumnya. A.G. dari Magelang. Jawaban oleh Y.S., anggota Dewan Pekerja AOA Space T: Perihal modal awal, apakah merupakan modal hasil iuran kolektif atau modal perseorangan? J: Modal awal AOA adalah hasil iuran perorangan. Dalam kasus sebuah alat produksi berawal dari iuran perorangan seperti ini, saya sendiri berpandangan bahwa ada beberapa cara para pekerja lain yang tidak ikut berkontribusi pada modal awal dapat menjadi pemilik alat produksi. Kemungkinan skemanya seperti ini: 1) Para pekerja dapat mengakuisisi modal awal dari penghasilannya setiap bulan (jika penghasilan alat produksinya bagus, dan para pekerja dapat menyisihkan sebagian penghasilannya untuk akuisisi modal). Jika akuisisi modal secara kolektif sudah selesai menurut presentasenya, berarti para pekerja lain yang tidak berkontribusi pada modal awal dapat memiliki alat produksi. 2) Modal awal perorangannya diikhlaskan (diberikan secara cuma-cuma) kepada dewan pekerja. Ini dapat diberlakukan khususnya pada alat produksi swakelola yang kondisi ekonominya buruk sehingga setiap pekerja mendapatkan bagi hasil yang subsisten (cukup untuk kebutuhan dasar saja), bahkan kurang dari subsisten. Jadi, semua pekerja yang bekerja secara otomatis turut memiliki alat produksinya. Kepemilikan alat produksi dalam skema ini bisa diatur juga, misalnya, dari masa kerja seorang pekerja. 3) Para pemodal awal dapat mewakafkan atau meminjamkan alat produksinya kepada pekerja lain untuk digunakan selama yang dibutuhkan, lalu mengambil kembali alat produksi tersebut jika unit swakelolanya bubar, atau jika para pekerja sudah selesai menggunakannya. Tentu saja, para pemodal ini tidak mempunyai kekuatan sosial apa pun atas para pekerja sekalipun alat produksi tersebut berasal dari modal pribadi mereka. T: Perihal perekrutan dewan pekerja. Apakah dewan pekerja ini berasal dari lingkar pertemanan atau berasal dari luar lingkar itu yang sama sekali belum pernah kenal? J: Pada awalnya, kami tentu mencari dari lingkar dalam terlebih dahulu atas alasan rasa percaya dan keamanan. Tetapi hingga kini, tidak sedikit juga anggota dewan pekerja yang bergabung dari lingkar luar, atau dari orang yang sama sekali tidak dikenal sebelumnya. T: Apakah ada rasa khawatir kalau kalau anggota dewan pekerja yang direkrut justru berkhianat (mencuri alat produksi misalnya)? J: Pikiran akan ancaman tersebut tentu ada. Malah, menurut saya, sistem swakelola yang baik adalah sistem yang mampu untuk mencegah ancaman dari luar dan dari dalam lingkar swakelola tersebut. Mekanisme untuk mengurangi risiko tersebut adalah pemberlakuan sistem seleksi sejak awal perekrutan, yaitu pengiriman foto KTP, CV dan surat motivasi kandidat, supaya dewan pekerja memiliki informasi identitas semua anggota dewan pekerjanya. Ini saya berlakukan untuk penerimaan anggota tahun ini. Sebelumnya hal ini tidak dilakukan, dan saya rasa seleksi dan screening identitas ini adalah langkah baik untuk tahap awal prosedur keamanan. Untuk keuangan sendiri, perlu mekanisme pencatatan yang rapi dan rutin. Kalau mau lebih bagus lagi, harus ada audit dari pihak luar yang independen. Inventarisasi bahan baku atau unit alat produksi perlu diberlakukan juga untuk meminimalkan risiko barang hilang yang tidak terdeteksi. Sejauh ini, belum ada anggota dewan pekerja yang melakukan pencurian, atau barang hilang tanpa ada kejelasan (entah kalau kami tidak sadar ya. Hehe). T: Apakah dalam awal pendirian usaha dibutuhkan ahli-ahli? (Koki/juru masak misalnya) J: Ahli tentu penting dirujuk sebagai salah satu sumber belajar, baik dari dalam lingkar kolektif atau dari luar kolektif. Faktanya, kami sendiri terus belajar dari pihak yang kami anggap ahli dan dapat kami akses. Misalnya, untuk pembuatan fermentasi, kami berkonsultasi dan belajar dari orang yang memang ahli dan sudah punya praktik lama soal fermentasi. Untuk kopi, ya kami tanya-tanya soal kopi pada yang sudah berpengalaman dan belajar, begitu pula hal-hal lain, soal menu makanan, minuman, bahan baku, manajemen, dan lainnya, walaupun belum tentu proses belajar dari para ahli tersebut bisa langsung diterapkan (karena banyak faktor). Namun, keberadaan ahli tentu tidak menjadi penghalang kalau setiap orang ingin mengembangkan keahliannya dengan belajar sendiri. Tentu saja ini sangat bagus. Namun, saya percaya, belajarlah dari para ahli. Dengan referensi dan masukan dari para ahli, tentu proses belajar kita memiliki tutor yang memang punya pengetahuan, keahlian, dan pengalaman. T: Soal hubungan antara pembagian hasil dan jam kerja, bagaimana supaya bagi hasil ini dirasa adil bagi semua pekerja? Apakah dengan menyamakan jam kerja secara mutlak atau bagaimana? J: Sejauh ini, AOA memberlakukan prinsip “bagi hasil didistribusikan sesuai kuantitas kerjanya” dan “Dari setiap orang berdasarkan kemampuannya, untuk setiap orang berdasarkan kuantitas kerjanya”. Karena unit hitung kerja di AOA adalah WAKTU/JAM, maka bagi hasil dihitung berdasarkan berapa banyak JAM yang kamu dedikasikan untuk bekerja di AOA. Setiap orang akan menerima jumlah bagi hasil yang berbeda, tergantung seberapa banyak dia bekerja untuk AOA. Jadi, semakin tinggi jam kerjamu, semakin tinggi pula bagi hasil yang kamu dapat. Maka dari itu, anggota dewan pekerja yang tidak bekerja tidak akan mendapatkan bagi hasil bulanan apa pun, sekalipun misalnya dia adalah salah satu anggota yang dulu berkontribusi pada modal awal. Mengenai jadwal kerja, dasar pengisian jam kerja kami sejauh ini adalah kesukarelaan dan kejujuran. Setiap awal bulan, jadwal bulanan dibuat, dan setiap anggota dewan pekerja yang mau bekerja dapat mengisi jadwal sesuai kesukarelaan secara jujur. Setiap anggota dewan pekerja yang tidak bekerja selama 2 bulan secara berturut-turut akan kami tanyai kelanjutannya sebagai anggota dewan pekerja. Apakah lanjut, atau tidak. Jika lanjut, dia kami minta untuk mengisi jadwal kerja. Jika tidak, orang tersebut dapat keluar dulu dari dewan pekerja. Nanti, jika dia mau bekerja kembali, tinggal melalui proses seleksi dari awal kembali. Alasannya, keanggotaan dewan pekerja didasarkan pada partisipasi dan kontribusi. Keanggotaanmu akan menjadi tidak berlaku jika kamu tidak berpartisipasi atau berkontribusi bagi kolektifmu. T: Kembali soal perekrutan dewan pekerja, apakah yang direkrut hanya mereka yang mempunyai kesamaan orientasi ideologis atau siapa pun bisa bergabung? J: Tidak. Faktanya, sependek pengalaman saya dalam sistem swakelola, AOA adalah salah satu unit swakelola yang anggotanya sangat beragam dalam hal ‘ideologi’, bahkan ada juga yang sama sekali tidak peduli pada ‘ideologi’ dan hanya fokus pada upaya mencari nafkah. Tantangannya tentu dinamikanya menjadi lebih kompleks dan alot, tetapi bagi saya sendiri keberagaman semakin mendekatkan praktik kami dengan realitas yang memang heterogen dan rumit. T: Apa ada tips untuk meminimalisir modal untuk usaha dengan sistem swakelola pekerja? J: Untuk meminimalkan modal, tentu setiap kolektif harus pertama-tama jujur pada dirinya sendiri. Maksudnya, jujur saja kemampuannya secara finansial berapa, kemampuan secara keahlian berapa. Ironis juga karena terlalu ambisius, tidak realistis, dan tidak jujur pada dirinya sendiri, sebuah kolektif swakelola terlilit hutang yang serius misalnya hutang bank, atau rentenir, yang akhirnya membuat hidup makin sengsara. Hutang atau investasi adalah hal yang harus dipikirkan matang-matang, dan jangan sampai menjadi kekuatan yang mengendalikan arah sebuah unit swakelola. Selain itu, untuk meminimalkan modal, maksimalkan hal yang kamu miliki dan buat sendiri hal yang kamu bisa buat, alih-alih membayar orang lain untuk mengerjakannya. Misalnya, kami dulu melakukan sendiri sebagian kerja renovasi bangunan (mengamplas, mengecat, kelistrikan, lampu-lampu), atau menggunakan barang pribadi / pinjaman yang sudah ada, menggunakan bangunan teman sendiri, alih-alih membeli baru atau menyewa. Ini cukup efektif untuk memangkas modal awal. Punya pertanyaan terkait artikel ini atau swakelola pekerja? Tertarik belajar bersama tentang swakelola pekerja? Silakan email kami di [email protected]
Artikel disusun oleh Yab Sarpote Apa yang dimaksud dengan swakelola pekerja? Swakelola Pekerja sudah dapat ditebak dari istilahnya: para pekerja mengontrol tempat kerja mereka sendiri, tidak bertanggung jawab kepada siapa pun kecuali diri mereka sendiri, dan juga kepada sesama pekerja yang bekerja bersama-sama di sebuah tempat kerja. Semua orang yang terlibat dalam pembuatan keputusan di tempat kerja punya posisi yang setara: satu orang, satu hak suara. Ini tidak berarti bahwa setiap keputusan dibuat secara kolektif. Jika ada hal yang hanya berdampak pada satu orang pekerja, maka pekerja tersebut dapat membuat keputusannya sendiri. Namun, kapan pun sebuah keputusan berdampak pada lebih dari satu pekerja, maka semua pekerja yang terdampak punya hak suara yang sama dalam pengambilan keputusan tersebut. Bagaimana tempat kerja dapat dijalankan tanpa adanya bos? Bagaimana struktur tempat kerjanya? Saat ada bos yang selalu memerintahmu soal hal yang harus dilakukan, atau punya kekuasaan dan otoritas lebih besar darimu saat keputusan akhir dibuat, kamu merasa tidak berdaya dalam pekerjaan. Manajemen hierarkis menghisap energi para pekerja dan membuat para pekerja terasing dari hal yang mereka kerjakan. Inilah yang terjadi saat kerja bukanlah milik para pekerja: para pekerja merasa ogah-ogahan, “malas” menuruti perintah sang bos, tidak antusias, asal bapak senang dan, di tingkat yang ekstrim, konflik ini bisa berkembang menjadi konflik yang lebih parah, misalnya pengunduran diri, sabotase, mogok kerja, tuntutan hukum, bahkan konflik berdarah. Apalagi jika sang bos makin lama makin eksploitatif terhadap para pekerjanya: upah kecil, jam kerja panjang, perlakuan kejam, lembur, tidak ada jaminan sosial, asuransi kesehatan, jaminan pensiun, dan lain sebagainya. Pada dasarnya, para pekerja punya pemikiran sendiri mengenai kerja yang ingin mereka lakukan karena setiap hari para pekerjalah yang mengerjakan hal tersebut, merekalah yang paling tahu pekerjaan yang mereka lakukan. Akan tetapi, para bos dalam manejemen hierarkis seringkali hanya tahu laporan informasi agregat dari para pekerja yang mereka kontrol, jarang mengerjakan langsung pekerjaan tersebut. Para bos yang hanya segelintir orang ini berupaya memahami informasi dan praktik kerja yang sangat banyak dan sangat beragam demi memenuhi ambisi kontrolnya terhadap pekerja yang diupahnya. Oleh karena itu, para bos ini gagal memahami kebutuhan dan aspirasi para pekerja. Terlebih lagi, tentu saja para bos menjadikan uang dalam investasi modal mereka sebagai kekuatan sosial yang dapat digunakan setiap saat untuk memaksa para pekerja untuk menuruti kemauan mereka. Kalau para pekerja menolak, tentu para bos siap memecat mereka. Posisi dilematis dan timpang yang dialami para pekerja di hadapan kekuatan sosial uang yang dimiliki para bos ini membuat para pekerja tidak punya pilihan lain selain menuruti kemauan para bos. Berseberangan dengan skema manajemen hierarkis ini, dalam swakelola pekerja, kamu punya hak suara yang sama tentang bagaimana kerja dijalankan di tempat kerja, sama seperti para pekerja lain yang bekerja denganmu. Demokrasi langsung diterapkan. Di dalamnya, setiap pekerja yang terkena dampak suatu hal lah yang berhak memutuskan keputusan secara kolektif atas hal tersebut. Dalam tempat kerja yang lebih kecil, hal ini dapat dilakukan dengan sangat mudah dengan menggunakan struktur kolektif yang sederhana. Di tempat kerja yang lebih besar, hal ini dapat dilakukan dengan mudah dengan membagi tempat kerja ke dalam departemen-departemen. Departemen-departemen tersebut, misalnya, dapat dibagi berdasarkan jenis kerja yang dilakukan. Departemen ini dapat terdiri dari tim-tim pekerja yang bekerja bersama-sama dalam tugas harian. Setiap departemen dapat berfungsi sama dengan kolektif pekerja di tempat kerja yang lebih keciL Contoh struktur swakelola kolektif kecil Saat keputusan besar yang mencakup seluruh tempat kerja harus dibuat, delegasi dari setiap departemen dapat dikirimkan ke dalam rapat semua departemen. Delegasi ini tidak punya kuasa yang lebih tinggi daripada departemen individualnya. Delegasi hanya bertugas menyampaikan aspirasi dan keputusan departemennya yang telah disepakati sebelumnya di dalam departemennya. Kurir atau penyampai pesan, itulah tugas sang delegasi ini. Para delegasi akan secara rutin dirotasi sehingga tidak ada satu pekerja pun yang akan mengembangkan pengaruh dominan terhadap pekerja lainnya karena terlalu sering menjadi delegasi. Keputusan-keputusan para delegasi tunduk pada persetujuan demokratis para pekerja di tempat kerja tersebut, dan oleh karenanya para delegasi ini bertanggung jawab untuk menyampaikan mandat. Contoh penerapan swakelola dalam kelompok kerja/departemen individual dan hubungannya dengan rapat delegasi Punya pertanyaan terkait artikel ini atau swakelola pekerja? Tertarik belajar bersama tentang swakelola pekerja? Silakan email kami di [email protected]
|
Tim AOA
Halaman ini memuat kabar terbaru dari kami. Arsip
Kategori
|